Kesturi Di Ujung Senja

Kesturi Di Ujung Senja

Peraih juara
II lomba menulis Puisi Islami ANGKASA FPPI FKIP UNILA

Pukul 15.35, 16 September 2006.
Mata terpejam itu berkedip. Ya,
menandakan masih ada yang tinggal dalam raga itu. Dengan sangat lemah ia
membuka matanya. Ternyata visualnya belum dapat melihat dengan jernih. Buram.
Tiba-tiba , ia mendengar derap-derap langkah kaki. Mendekat ke arahnya. Namun,
sekali lagi, visualnya belum dapat membantunya. Ia kembali mengedipkan matanya.
Perlahan ia dapatkan visualnya kembali. Sepasang mata berwarna hershey itu
mendapati seringaian dari seorang pria bermata abu-abu. Ia mencoba mengingat
siapa sosok bertubuh kekar di hadapannya.

Masih dengan tubuh yang lemah, mata
hershey itu menyapu seluruh tempat itu. Rumah yang berantakan, sangat
berantakan. Mencoba mengingat, apa yang terjadi sebelum ia kehilangan
kesadarannya. Menyadari ada yang hilang, ia mencoba bangkit, “Allaah…”
lirihnya. Tentu, memohon kekuatan. Ia rasakan sakit yang luar biasa dari
tubuhnya dan ia dapati tubuhnya penuh luka. Pelipisnya berdarah. Mata abu-abu
itu terus mengawasi gerak tubuh pria bermata hershey. “Masih mencoba berdiri?
Sadarlaah… kau di ujung ajalmu!” ucap pria bermata abu-abu, dengan
seringaiannya. “Ryan, dimana dia? Dia,Salsa. Salsa dimana?” tanya pria bermata
hershey. Penuh harap. Cemas. “Rav, sadarlah. Siapa dirimu sebenarnya? Kau yang
kukenal dulu.. Rava yang glamour. Rava yang penuh pesona. Dimana Rava yang
dulu. Rava sahabatku. Ooh.. kau mencemaskan wanita Muslim itu? Lihatlah di
pojok tembok itu, siapa yang telah kuhanguskan. Sekarang tiada lagi yang
membuatmu mencintai keyakinanmu itu. Kembalilah Rava. Kembali kepada kebebasan,
kedamaian. Bukan seperti keyakinanmu yang senang melukai, mengekang, me…”
Perkataan pria yang dipanggil Ryan itu terpotong oleh gerakan Rava yang
mendekat ke arah wanita yang hangus. Dengan tajam, mata abu-abu itu menyorot
penuh emosi. “Cukup Ryan! Ini semua bukan seperti yang kau bayangkan. Dan
harusnya kau tahu, aku tidak mencintai keyakinan ini karena Salsa, tapi… karena
aku telah benar-benar jatuh cinta pada keyakinan ini. Islam. Ia tidak melukai,
tidak mengekang….” Pernyataannya terpotong. Sebuah benda yang cukup keras tepat
menghantam bahunya. Seakan dunia berputar-putar. Ia rasakan sakit yang teramat
sangat. Ia mencoba tetap bertahan. Namun, tiba-tiba visualnya menangkap
bayangan. Ia lihat seulas senyum penuh arti disertai uluran tangan nan halus.
Ia ikuti seseorang itu. Salsa. Ia lihat sekitarnya bukan lagi rumah berantakan.
Melainkan semua yang berwarna putih. Begitu bersih. Rupanya ia telah kehilangan
kesadarannya. Ia kembali dalam alam yang lain. Dan di sanalah, ia mengingat
semua yang terjadi sebelum hari ini. Sebelum hari ini.
***
Flashback : on, September 2006.
Spain United.
Selamat pagi dunia. Aku, seorang
Rava siap menaklukkanmu hari ini.
Seorang
pemuda bermata hershey itu bercermin. Senyum ia sunggingkan. Ia siap berangkat
ke Universitas tempatnya menimba ilmu. Di sana, ia termasuk mahasiswa yang
cukup populer. Bukan karena otaknya yang encer, meski otaknya cukup brilian.
Melainkan karena, ia seorang Rava yang terkenal glamour, meski yang ia lakukan
bukanlah hal buruk untuk dirinya. Melainkan, glamour karena ia senang
berganti-ganti mobil, alat komunikasi, dan alat-alat canggih lainnya agar ia
tak dinilai pemuda ketinggalan zaman. Ia memiliki banyak teman yang sering
mengajaknya pergi. Minum, meski ia sendiri tidak suka minum, ia lebih senang
mengeluarkan uang untuk temannya. Dan satu hal lagi yang membuatnya cukup
populer adalah, ia banyak digandrungi para pemudi di kampusnya. Meski begitu,
haruslah kau tahu kawan, Rava bukanlah pemuda yang bermain wanita.
Seperti biasa, Rava hendak berangkat
ke kampusnya. Namun, ia rasakan hal yang berbeda hari ini. Entah iapun merasa
heran akan dirinya sendiri. Apakah rerumputan turut merasakan apa yang dirasakan
Rava? Aku tak tahu. Apakah angin mampu mengikis sedikit demi sedikit rasa yang
aneh pada dirinya? Aku pun tak tahu. Sebab, roda baru hendak digelindingkan
oleh Sang Pemiliknya. Dan aku, tentu masih belum tahu.
***
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakaatuh.. nama saya Salsabila Nurul Fitri. Cukup panggil saya dengan nama
Salsa. Saya mahasiswa pindahan asal Universitas Indonesia, Indonesia.” Dengan
gugup seorang akhwat dengan jilbab panjang memperkenalkan diri. Sebab ia tahu
resiko menimba ilmu di negri minoritas muslim. Ia sudah menimbang-nimbang
dengan cukup lama. Resiko akan ia terima dengan ikhlas. Yang ia takutkan adalah
jika turunlah kadar istiqomahnya. Akhwat bermata bulat dan hitam bak biji leci
itu menyapukan pandangannya ke seluruh kelas. Dan apa yang ia dapati? Semua
mata tajam menjurus padanya. Semua tercengang.
Baru kali ini, ada mahasiswa muslim
yang benar-benar mencolok akan keislamannya. Sadar menjadi pusat perhatian, ia
buru-buru mencari tempat duduk dan duduk di tempatnya. Setiap pasang mata
kembali fokus akan materi hari ini, materi yang cukup berat. Tak ada lagi yang
memperhatikannya. Kecuali, sepasang mata berwarna hershey di sudut kelas. Ia
seakan-akan terpaku, tak mampu berpaling dari wajah akhwat bermata biji leci
itu. Ia masih terus memandang. Terpukau.
***
Hari tentu saja terus melaju. Ia tak
akan peduli jika ada yang meminta perpanjangan waktu. Ia sungguh tak peduli. Ia
hanya menuruti perintah Rabbnya, berapapun banyaknya rengek yang memohon. Sebab
ia tak mampu mengabadikan waktu.
Seperti biasa, rumput telah basah
kembali oleh bening embunnya. Cakrawala mulai mencipta garis berwarna saga.
Seperti biasa, ia akan menerima mentari yang
akan
datang bersambut. Bintang penuh rendah hati kan menghilang sejenak. Ia kan
datang lagi malam ini. Jika Pemiliknya berkehendak, tentu saja.
Seorang akhwat dengan membawa banyak
buku sudah melintasi hari sepagi ini. Sudah berhasil tiga bulan aku lalui,
dan Alhamdulillah.. istiqomahnya terjaga.
Ia mengulum senyum kecilnya.
Tiba-tiba sebuah klakson terdengar begitu nyaring. Ini seperti tak asing di
telinga akhwat ini. Mengapa aku di klakson? Bukankah ini sudah di trotoar? Pikirnya.
Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya, “Kau Salsa, bukan?
Kenalkan aku, Rava. Kita teman satu kelas. Tapi kita tak pernah berkenalan. Aku
harap kita bisa menjadi teman diskusi, mungkin.” Mata hershey yang muncul, dan
kini berbicara pada Salsa. Masih dengan ketidak percayaan, ia mengumpulkan
segenap kesadarannya. Tanpa sadar mata hershey itu menelusup relung hati.
Mencipta rasa yang tak ia mengerti. “mm.. ia. Aku harap begitu.” Ia paksakan
senyum. Dan dilanjutkan melangkahkan kaki. Ia tak ingin terjebak. Ini
jebakan syaitan.
Batinnya. Rava masih ingin berbicara, namun ia urungkan
sebab ia mengerti kemana arah lawan bicaranya kan berlabuh. Yakni menghindar.
Salsa masih tak mengerti. Ia
lafadzkan selalu istighfar dalam hatinya. Hingga akhirnya gerbang kampus pun
tertangkap oleh visualnya.
***
Seperti yang kau tahu, kawan. Waktu
tentu terus bergulir. Hingga berjumpalah akhwat ini pada saat-saat yang tiada
pernah ia duga sebelumnya. Pria bermata hershey yang ia ketahui namanya dari
temannya itu datang melamarnya. Ia tiada pernah menyangka hal ini yang akan
terjadi. Rava telah berislam beberapa waktu sebelumnya. Didampingi dengan
seorang teman muslim dari fakultas lain ia menemui orang tua Salsa. Dan entah
mengapa, batinnya memutuskan untuk menerima lamaran itu.
Beberapa hari kemudian, resepsi
pernikahan diadakan. Sederhana. Dan penuh haru.
Bersama mereka, ribuan bintang turut
berdzikir.
***
“Rav, kapan kita ke Indonesia? Kamu
pasti akan terpesona oleh keindahannya. Sungguh..” tanya Salsa pada teman
hidupnya. “hei, kamu tidak tahu ya?, aku sudah 3 kali ke Indonesia. Penelitian,
liburan, jalan-jalan, hehehe” ledek yang ditanya. Yang bertanya memanyunkan
bibirnya. “hei bukan begitu. Oke oke, kita bisa pergi kapan saja. Kamu mau
pergi kapan?” bujuk Rava pada Salsa yang mulai merajuk. Tiba-tiba, Salsa
tertawa. “I’m joking, Rav.” Ucapnya dengan masih tertawa. Begitulah waktu bergulir.
Percakapan-percakapan hangat, obrolan diskusi, hingga debat mewarnai hari-hari
mereka.
Mereka tak menyadari, betapa
sesungguhnya bahaya datang mengancam mereka. Tepat setelah hari itu. Ya, hari
itu.
***
Cakrawala berwarna saga. Ini hari
baru. Baik Rava maupun Salsa akan memulai kuliahnya lagi setelah cuti beberapa
hari lalu. Ketika mereka memasuki area kampus semua mata menuju pada mereka. Lihatlah,
kini kelas kita memiliki sepasang muslim dan muslimah. Serasi.
Pandang
mereka. Mereka hanya membalas pandangan-pandangan sinis itu dengan senyum.
“Selamat Rav. Semoga bahagia selalu.
Kapan nih pesta kecil-kecil buat kami?” tanya Ryan. Sahabatnya. “sediakan
anggur terbaik ya. Don’t forget ya?” berikut dengan seringaiannya. “Sorry,
Yan.
Sudah tidak kenal lagi dengan yang seperti itu, hehe” jawab Rava. “Ya Rav. Aku
tahu, aku akan kehilangan sahabatku. Dan ternyata aku kehilangannya lebih cepat
dari yang aku kira.” Wajah Ryan meredup. “hey.. hey..! kita hanya sedikit
berbeda kawan. Kau akan tetap menjadi sahabatku.” Jawab Rava. “ya sedikit. Tapi
yang sedikit itulah yang mampu melukai lebih dari yang aku kira.” Ryan
bertambah muram. “tapi, satu hal yang kusesali, mengapa kau harus menjadi
muslim. Masih banyak wanita di luar sana. Yang cantik. Yang cocok untukmu.
Bukan seperti dia.” Tambah Ryan sambil melirik Salsa yang tengah asyik membaca
buku. “dia itulah kesempurnaan, Ryan. Aku bahagia bersamanya. Dan aku bahagia
bersama keyakinan ini.” Jawab  Rava,
memandang penuh arti. “ia Rav. Tapi kau tahu? Banyak masalah yang terjadi di
dunia disebabkan oleh Islam.” Ryan masih dengan argumennya. “yang seperti itu
bukan islamnya Ryan. Yang melakukan itu, orang yang menggunakan nama islam.
Mereka bukan muslim yang sesungguhnya, jika kau telah bergabung, kau akan tahu,
kami memiliki teladan yang luarbiasa. Nabi Muhammad saw. Kau harus tahu itu.”
Rava tersenyum. “baiklah itu terserah padamu. Aku hanya mampu memberi tahumu.”
Tukas Ryan. “Allah jauh lebih tahu.” Sambung Rava, lantas berlalu.
***
14 September 2006.
“Terjadi ledakan bom di Spanyol.
Dari narasumber didapati pelakunya adalah para teroris. Hal ini membuat para
penduduk merasa harus terus beranti-sipasi pada setiap muslim. Kejadian ini
menjatuhkan 3 korban meninggal dan 2 orang kritis…”. Tayangan dimatikan. Ini sungguh
sebuah konspirasi. Betapa sungguh, media saat ini sulit dipercaya. “Allah…”
desis pria bermata hershey. “Rav, aku takut.” Tutur Salsa, cemas. “tidak apa,
Sal. Everything will gonna be okay. Just let it be.” Jawab Rava, menenangkan.
Sejak hari itu, mereka selalu
diselidiki. Sebab, secara kebetulan hanya merekalah muslim yang bertempat
tinggal di sana. Ibu Rava selalu meminta Rava untuk kembali kepada keyakinan
mereka sebelumnya. Tapi, Rava senantiasa meyakinkan ibunya. Bukannya ia tak
cemas. Namun, hatinya berkata padanya untuk senantiasa bersabar. Kau ingat
seperti apa perjalanan Nabi Ibrahim, kawan? Hingga akhirnya beliau bergelar
kekasih Allah. Rava ingin menjadi hamba yang dicintaiNya. Selalu ia tanamkan
pada hatinya untuk sedikit lagi bersabar.
Maka, ia senantiasa berdo’a, agar
Allah senantiasa titipkan kesabaran dan ketabahan pada angin yang berhembus.
Atau, datang set
iap kali ia
bersujud. Sebab, di sanalah ia temukan kekuatan, untuk terus melangkah.
***
“Bismillahir Rahmaanir….” Belum
tuntas Rava membaca basmallah, sebab ia ingin membaca Al-Qur’annya. Tiba-tiba,
rumahnya didatangi beberapa orang dengan keributan. Rava buka pintu, dan ia
dapati sahabatnya sudah bersama 2 orang berbadan kekar. “ada apa, Ryan?” tanya
Rava. “kau, Rav. Mengapa kau lakukan itu? Mengapa kau bunuh ibu dan ayahku?”
tanya Ryan. Ada luka dibalik mata abu-abunya. Ada amarah dibalik mata
abu-abunya. “sungguh Ry. Aku tidak tahu apa-apa. Sungguh, ini sebuah
konspirasi.” “persetan dengan konspirasi. Aku tak peduli lagi. Kau.. aku tak
pernah meyangka, ini yang akan kau lakukan. Hey! Kalian berdua! Cepat ikat
dia!” jawab Ryan.
Rava sudah dalam keadaan terikat. Ia
tak menyangka akan terjadi hal seperti ini. Ia mengingat cerita Salsa tentang
keluarga Ammar bin Yasir. Ia menangis, akankah ia berakhir seperti itu? Ia
sungguh bahagia. Namun, bagaimana dengan Salsanya. “Assalamu’alaikum.. Rava!
Ada apa?” ia terkejut bukan main, melihat Rava sudah erikat dan berlumuran
darah. “akhirnya kau datang juga.” Tutur Ryan. Salsa terkejut. Ia mendekat ke arah
Rava. “kau… kau apakan Rava?” setelah ia berkata seperti itu, yang Salsa lihat
adalah bayangan hitam. Tepat mengenai dahinya. Kemudian yang terihat hanyalah,
gelap.
***
Flashback : off, 16 September 2006, at. 17.30.
Semua mengalir seperti mimpi. Cinta,
Sahabat, pernikahan, islam, penyerangan dan Salsa. Salsanya sudah tiada lagi.
Terakhir, ia mendengar Salsa ucapkan Laa ilaha illaallah… lirih memang,
namun tenang. Kini ia tersadar kembali, setelah potongan-potongan episode yang
membuatnya teringat akan apa yang terjadi kemarin.
Ia terbangun lagi, kini visualnya ia
hadapkan pada Ryan. Mata hershey itu beradu dengan mata abu-abu. “Ryan.
Sungguh, ini bukan perkara kami. Kau.. tetap sahabatku.” Suara Rava melemah.
Namun, lagi. Ryan masih dengan amarahnya. Lagi-lagi, ia hantamkan sebilah balok
di punggung Rava. “kau harus rasakan bagaimana kehilangan, perih.” Itu
kata-kata yang dapat ia dengar dari mulut Ryan. “baiklah…” jawab Rava. “satu
hal, yang harus kau tahu. Aku t
idak akan
melepaskan seinchi pun keyakinan ini.” Sambungnya. “baiklah jika begitu. Kau!
Rava bukan lagi seorang Rava sahabatku! Persetan kauuuu!” teriak Ryan, sambil
ia hantamkan balok itu. Inilah yang paling kuat hantamannya. Namun, Rava tiada
sedikitpun terasa sakit padanya.
Ia lihat, Ryan lari menjauh. Dan kini, visualnya pun lari menjauh.
Buram, lagi. Hingga tiba saatnya, sang Izrail datang mengulurkan tangannya.
Rava tersenyum penuh kemenangan. Senyumnya begitu merona. “Laa
ilaha Illa Allaah…”
.
Kemudian bertiuplah angin lembut. Gemerisik dedaunan menyanyikan
lagu selamat tinggal. Hujan gerimis menghantarkan kepergian. Hingga wangi
kesturi, menghias senja sore ini. Syahdu…
By Saiqoh Dianah       SMA IT BAITUL MUSLIM

Berita Terbaru
Scroll to Top