By :
_Durratur Razan
Ar-Rusydiyah_
_Durratur Razan
Ar-Rusydiyah_
Jurnalis Jurnalistik SMAIT BM
Rembulan
sempurna menawan malam ini. Langit sempurna indah, bartabur beribu bahkan
berjuta bintang. Sempurna sudah. Namun, terlihat ada yang gundah di pojok teras
rumah. Duduk termangu, terlihat menyedihkan. Tak menikmati betapa nikmat tuhan
malam ini terasa begitu sempurna. Gurat-gurat kesedihan tergores nyata seakan
itu adalah relief pada wajahnya. Tatap matanya seakan menyatakan, “aku telah
lama merasakan kepedihan, kesakitan, kekecewaan, dan segala hal yang mungkin
tak ingin kau rasakan”.
sempurna menawan malam ini. Langit sempurna indah, bartabur beribu bahkan
berjuta bintang. Sempurna sudah. Namun, terlihat ada yang gundah di pojok teras
rumah. Duduk termangu, terlihat menyedihkan. Tak menikmati betapa nikmat tuhan
malam ini terasa begitu sempurna. Gurat-gurat kesedihan tergores nyata seakan
itu adalah relief pada wajahnya. Tatap matanya seakan menyatakan, “aku telah
lama merasakan kepedihan, kesakitan, kekecewaan, dan segala hal yang mungkin
tak ingin kau rasakan”.
Tatapan yang tajam
dan dingin dari mata cantiknya, biru. Ia layangkan keseluruh permukaan langit.
Menyapu setiap sudut yang ada. Ya, ia tak ingin diganggu malam ini. Ia hanya
ingin berdua saja malam ini. Ya, berdua saja. Ia ingin berdua saja bersama
tuhannya malam ini. Mengenang segala hal yang telah ia alami selama ini. Ia
ingin kembali mengenang masa-masa dimana akhirnya ia bisa mengenal tuhannya
saat ini, Allahnya. Ternyata kita salah. Ia tak gundah malam ini.
dan dingin dari mata cantiknya, biru. Ia layangkan keseluruh permukaan langit.
Menyapu setiap sudut yang ada. Ya, ia tak ingin diganggu malam ini. Ia hanya
ingin berdua saja malam ini. Ya, berdua saja. Ia ingin berdua saja bersama
tuhannya malam ini. Mengenang segala hal yang telah ia alami selama ini. Ia
ingin kembali mengenang masa-masa dimana akhirnya ia bisa mengenal tuhannya
saat ini, Allahnya. Ternyata kita salah. Ia tak gundah malam ini.
***
Flashback : on (2007)
Pesta yang
sangat meriah. Tak terlihat satupun yang tak bahagia. Musik berdentum kuat dan
seirama dengan para tamu yang menari-nari. Tak terlihat satupun yang lelah
malam ini. Makanan-makanan mewah tersaji begitu menggoda. Minuman-minuman
terhidang begitu sangat menggiurkan. Hah, apakah gerangan yang membuat pengada
pesta ini begitu bahagia? Ternyata, ia berhasil mengadakan rekor yang baik bagi
perusahaannya, ia naik pangkat. Dan tentunya, karna putrinya yang sangat ia
sayangi, berhasil menduduki peringkat pertama saat ujian masuk perguruan
tinggi. Setujukah engkau kawan, bahwa ini adalah hal yang membahagiakan?
sangat meriah. Tak terlihat satupun yang tak bahagia. Musik berdentum kuat dan
seirama dengan para tamu yang menari-nari. Tak terlihat satupun yang lelah
malam ini. Makanan-makanan mewah tersaji begitu menggoda. Minuman-minuman
terhidang begitu sangat menggiurkan. Hah, apakah gerangan yang membuat pengada
pesta ini begitu bahagia? Ternyata, ia berhasil mengadakan rekor yang baik bagi
perusahaannya, ia naik pangkat. Dan tentunya, karna putrinya yang sangat ia
sayangi, berhasil menduduki peringkat pertama saat ujian masuk perguruan
tinggi. Setujukah engkau kawan, bahwa ini adalah hal yang membahagiakan?
Hidupnya seakan
sempurna sudah. Ia sempurna tak tahu apa yang telah direncanakan tuhan
untuknya. Ia sempurna lupa akan adanya tuhan. Ia sempurna menganggap semua
adalah hasil kerja kerasnya. Ia sempurna menganggap ketiadaan tuhan di dunia
ini.
sempurna sudah. Ia sempurna tak tahu apa yang telah direncanakan tuhan
untuknya. Ia sempurna lupa akan adanya tuhan. Ia sempurna menganggap semua
adalah hasil kerja kerasnya. Ia sempurna menganggap ketiadaan tuhan di dunia
ini.
Perjalanan hidup
akan kembali dimulai. Pesta usai.
akan kembali dimulai. Pesta usai.
***
“Pa, minggu
depan, Rachel sama kawan-kawan mau pergi bareng boleh? Sekalian kita mau study
di Bali. Ya pa yaa? Boleh yaa?” pinta sang putri memanja. Rachel Putri
Tirtayasa. Putri tunggal Tirtayasa. Nama Indonesianya. Pria bermata indah,
biru. Sang Putripun tak kalah menawan. Seorang Indo campuran. Sang Ayah, Pria
asal Wina. Dan Sang Bunda, wanita ayu, keturunan turki-indonesia. Sebuah perpaduan
simponi yang indah. Namun, bahagia mereka terhenti, ketika Sang Bunda memilih
kembali pada keluarga kala sang suami yang dicinta bersikeras terhadap
keyakinannya. Meninggalkan luka mendalam bagi masing-masing pemilik hati. Tentu
sebelum Rachel mengerti, itu semua terjadi. Yang Rachel tahu ialah Bundanya
sedang mengadakan perjalanan dan pasti akan kembali suatu saat nanti. Ya, suatu
saat nanti. Keyakinan yang selalu menguatkannya ketika semua mengoloknya.
Dibalik uang dan harta, Rachel punya luka. Uang tak membahagiakannya.
depan, Rachel sama kawan-kawan mau pergi bareng boleh? Sekalian kita mau study
di Bali. Ya pa yaa? Boleh yaa?” pinta sang putri memanja. Rachel Putri
Tirtayasa. Putri tunggal Tirtayasa. Nama Indonesianya. Pria bermata indah,
biru. Sang Putripun tak kalah menawan. Seorang Indo campuran. Sang Ayah, Pria
asal Wina. Dan Sang Bunda, wanita ayu, keturunan turki-indonesia. Sebuah perpaduan
simponi yang indah. Namun, bahagia mereka terhenti, ketika Sang Bunda memilih
kembali pada keluarga kala sang suami yang dicinta bersikeras terhadap
keyakinannya. Meninggalkan luka mendalam bagi masing-masing pemilik hati. Tentu
sebelum Rachel mengerti, itu semua terjadi. Yang Rachel tahu ialah Bundanya
sedang mengadakan perjalanan dan pasti akan kembali suatu saat nanti. Ya, suatu
saat nanti. Keyakinan yang selalu menguatkannya ketika semua mengoloknya.
Dibalik uang dan harta, Rachel punya luka. Uang tak membahagiakannya.
“Iyaa Rachel
sayang, apapun yang Rachel mau, selagi Papa mampu, Papa akan mencukupkannya
untukmu.” Jawab Papa tersayangnya. “termasuk bila Rachel memohon pada Papa,
agar Bunda kembalikah?” tanya sang putri, hati-hati. Yang ditanya membuang
wajahnya. Menatap kosong. Diam. Tapi, ia membuka mulutnya, “tolong, jangan
sebut lagi, nak. Tunggulah. Semua ada masanya.” Jawab Papanya dan berlalu.
Rachel hanya terdiam. Mematung.
sayang, apapun yang Rachel mau, selagi Papa mampu, Papa akan mencukupkannya
untukmu.” Jawab Papa tersayangnya. “termasuk bila Rachel memohon pada Papa,
agar Bunda kembalikah?” tanya sang putri, hati-hati. Yang ditanya membuang
wajahnya. Menatap kosong. Diam. Tapi, ia membuka mulutnya, “tolong, jangan
sebut lagi, nak. Tunggulah. Semua ada masanya.” Jawab Papanya dan berlalu.
Rachel hanya terdiam. Mematung.
***
“Rachel.” Ada
suara yang menyebut nama itu. “Astaghfirullah. Aku tak boleh seperti ini. Rabb
ampuni aku.” Ternyata malam ini, ada
yang gundah. Ada yang sedang “jatuh cinta”. Tapi ia tak mau berlarut-larut
terhadap perasaan itu. Ia tahu siapa Rachel. Ia tahu apa keyakinanya. Ia tak
mau menambatkan harapan pada orang salah. Ia tak mau, ridho tuhan hilang
untuknya. Ia, Ahmad Fauzan Fuadi. Mahasiswa kedokteran, ikhwan cerdas dan bisa
disebut begitu mencintai tuhannya. Nama Rachel ia kenali saat sama-sama
mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi yang sama, fakultas yang sama. Sudah,
semua harus selesai di sini. Ada yang harus lebih ia fokuskan untuk dipikirkan.
Ia benamkan wajahnya dalam sujud malamnya. Larut dalam tangisnya.
suara yang menyebut nama itu. “Astaghfirullah. Aku tak boleh seperti ini. Rabb
ampuni aku.” Ternyata malam ini, ada
yang gundah. Ada yang sedang “jatuh cinta”. Tapi ia tak mau berlarut-larut
terhadap perasaan itu. Ia tahu siapa Rachel. Ia tahu apa keyakinanya. Ia tak
mau menambatkan harapan pada orang salah. Ia tak mau, ridho tuhan hilang
untuknya. Ia, Ahmad Fauzan Fuadi. Mahasiswa kedokteran, ikhwan cerdas dan bisa
disebut begitu mencintai tuhannya. Nama Rachel ia kenali saat sama-sama
mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi yang sama, fakultas yang sama. Sudah,
semua harus selesai di sini. Ada yang harus lebih ia fokuskan untuk dipikirkan.
Ia benamkan wajahnya dalam sujud malamnya. Larut dalam tangisnya.
***
Sudah seminggu
Rachel di Bali. Ia rindu dengan
rumahnya. Hatinya hari tergores lagi. Tiga hari yang lalu, ia melihat keluarga
yang sangat bahagia. Tentu saja, rumah mereka tidak sebesar dan semewah milik
Rachel. Kendaraan mereka tak secanggih milik Rachel. Apalagi uang mereka tak
sebanyak milik keluarga Rachel. Tapi, keluarga ini begitu bahagia, begitu
hangat. Ia iri. Sangat iri. Keluarga Abi Ahmad dan Ummi ‘Aisyah. Mereka selalu
bisa tertawa bersama. Makan malam bersama. Lengkap. Abi, Ummi, Nadir, Shofi dan
si kecil Inayah.
Rachel di Bali. Ia rindu dengan
rumahnya. Hatinya hari tergores lagi. Tiga hari yang lalu, ia melihat keluarga
yang sangat bahagia. Tentu saja, rumah mereka tidak sebesar dan semewah milik
Rachel. Kendaraan mereka tak secanggih milik Rachel. Apalagi uang mereka tak
sebanyak milik keluarga Rachel. Tapi, keluarga ini begitu bahagia, begitu
hangat. Ia iri. Sangat iri. Keluarga Abi Ahmad dan Ummi ‘Aisyah. Mereka selalu
bisa tertawa bersama. Makan malam bersama. Lengkap. Abi, Ummi, Nadir, Shofi dan
si kecil Inayah.
Pertemuan ia dengan keluarga itu terjadi saat
ia bersama teman-temannya melakukan survei untuk buletin mereka. Abi Ahmad
adalah Kepala Dusun dan mereka tinggal sementara di Rumah beliau. Membuat
Rachel bertambah iri. Namun, ada hal yang ia dapatkan dari keluarga ini yaitu,
bagaimana islam begitu mulia. Bukanlah Islam yang salah ketika terdapat aksi
terosis atau apaun semacamnya, tapi muslimnyalah yang salah ketika mereka tak
memahami bagaimana harusnya yang mereka lakukan. Mereka tak memahami secara
keseluruhan. Islam begtu mengajarkan kasih sayang. Itu yang ia dapatkan. Matahari
tenggelam dengan tenang di ufuk barat. Meninggalkan dunia bersama gelap.
ia bersama teman-temannya melakukan survei untuk buletin mereka. Abi Ahmad
adalah Kepala Dusun dan mereka tinggal sementara di Rumah beliau. Membuat
Rachel bertambah iri. Namun, ada hal yang ia dapatkan dari keluarga ini yaitu,
bagaimana islam begitu mulia. Bukanlah Islam yang salah ketika terdapat aksi
terosis atau apaun semacamnya, tapi muslimnyalah yang salah ketika mereka tak
memahami bagaimana harusnya yang mereka lakukan. Mereka tak memahami secara
keseluruhan. Islam begtu mengajarkan kasih sayang. Itu yang ia dapatkan. Matahari
tenggelam dengan tenang di ufuk barat. Meninggalkan dunia bersama gelap.
Pukul tujuh
pagi. Udara masih sangat segar. Tapi, Rachel sudah memutuskan untuk pulang ke
hiruk pikuknya Jakarta. Ia sudah menelpon sang papa. Padahal, Papanya
melarangnya untuk pulang sekarang. Ada masalah yang besar. Papanya ingin sang
anak dalam keadaan yang aman. Ketika diminta untuk menjelaskan, papanya bilang
ini masalah yang rumit. Maka dari itu ia pun bersikeras untuk pulang. Sudah ia
putuskan. Tiket pesawat sudah dalam genggaman tangan.
pagi. Udara masih sangat segar. Tapi, Rachel sudah memutuskan untuk pulang ke
hiruk pikuknya Jakarta. Ia sudah menelpon sang papa. Padahal, Papanya
melarangnya untuk pulang sekarang. Ada masalah yang besar. Papanya ingin sang
anak dalam keadaan yang aman. Ketika diminta untuk menjelaskan, papanya bilang
ini masalah yang rumit. Maka dari itu ia pun bersikeras untuk pulang. Sudah ia
putuskan. Tiket pesawat sudah dalam genggaman tangan.
***
Pesawat sudah
mendarat. Terlihat Rachel menyeret kopernya, lelah. Ia memanggil taksi.
Taksipun meluncur cepat. Rachel benar-benar telah di Jakarta.
mendarat. Terlihat Rachel menyeret kopernya, lelah. Ia memanggil taksi.
Taksipun meluncur cepat. Rachel benar-benar telah di Jakarta.
Jalanan Jakarta
macet total. Langit mendung, Jakarta diguyur hujan hari ini. Ia telah sampai di
depan rumahnya. Namun, yang ia lihat adalah hangusnya rumah tempatnya berteduh.
Tak ada lagi rumah mewah, kokoh dan besar itu. Ia berkali-kali mengecek alamatnya.
Tak ada yang salah. Tapi, ia juga tak mau gegabah. Perlahan airmatanya meluncur
tanpa syarat. Membasahi pipi gadis itu. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Ia bahkan lupa bahwa ia belum membayar taksinya. Ia coba hubungi nomor
handphone sang Papa, yang biasanya jadi penyelamatnya. “Nomor yang anda tuju
sedang tidak aktif.” Hanya kata-kata itu yang terus berulang. Ia berbalik
badan. “kantor.” Itu yang ada di pikirannya. Ia akan pergi ke sana.
macet total. Langit mendung, Jakarta diguyur hujan hari ini. Ia telah sampai di
depan rumahnya. Namun, yang ia lihat adalah hangusnya rumah tempatnya berteduh.
Tak ada lagi rumah mewah, kokoh dan besar itu. Ia berkali-kali mengecek alamatnya.
Tak ada yang salah. Tapi, ia juga tak mau gegabah. Perlahan airmatanya meluncur
tanpa syarat. Membasahi pipi gadis itu. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Ia bahkan lupa bahwa ia belum membayar taksinya. Ia coba hubungi nomor
handphone sang Papa, yang biasanya jadi penyelamatnya. “Nomor yang anda tuju
sedang tidak aktif.” Hanya kata-kata itu yang terus berulang. Ia berbalik
badan. “kantor.” Itu yang ada di pikirannya. Ia akan pergi ke sana.
Taksi yang belum
dibayar pun kembali meluncur di kemacetan Jakarta. Hujan masih saja mengguyur.
Ia benar-benar tak tahu apa yang terjadi. Dimana-mana kerusuhan yang terjadi.
Ia tak paham, ada apa?. Dimana-mana dipasang banner-banner dengan kata-kata tak
layak dilihat dan didengar. Tapi yang ia tahu, di setiap banner itu, kata-kata
itu tertuju pada perusahaan papanya. “Pa, apa yang terjadi?” bisiknya dalam
hati. Sang supir hanya memandang kasihan pada penumpangnya itu. Yang terus
menerus meneteskan airmata dari dua mata indahnya.
dibayar pun kembali meluncur di kemacetan Jakarta. Hujan masih saja mengguyur.
Ia benar-benar tak tahu apa yang terjadi. Dimana-mana kerusuhan yang terjadi.
Ia tak paham, ada apa?. Dimana-mana dipasang banner-banner dengan kata-kata tak
layak dilihat dan didengar. Tapi yang ia tahu, di setiap banner itu, kata-kata
itu tertuju pada perusahaan papanya. “Pa, apa yang terjadi?” bisiknya dalam
hati. Sang supir hanya memandang kasihan pada penumpangnya itu. Yang terus
menerus meneteskan airmata dari dua mata indahnya.
Taksi berhenti
tepat di depan kantor ayahnya. Tapi, yang ia lihat, bukan security-security
yang biasa menyambut kedatangannya. Melainkan kaca-kaca pecah di sana-sini.
Tembok-tembok berbercakkan darah. Ia tak tahu darah siapa. Dan yang ada di
pikirannya adalah di mana papanya. Penolongnya. Ia mencoba masuk. Tentu setelah
ia membayar taksi yang sudah ia repotkan. Hatinya bergetar hebat. Setiap
ruangan yang ia masuki adalah ruang-ruang berantakan, hancur tak berbentuk
lagi. Komputer-komputer telah raib entah kemana. Darah-darah hadir menghiasi
ruangan itu. Hingga ia sampai pada ruangan papanya. Kosong. Photo ia dan
papanya masih ada di atas meja. Tapi, ada yang salah, gambar kepala Rachel
dilingkari dengan entah apa yang berwarna merah. Spidolkah? Atau darahkah? Ia
tak tahu, harus bagaimana lagi. Ia tak tahu harus kemana. Bagaimana ia
meneruskan hidup. Bagaimana ia melanjutkan kuliahnya, merajut asa-asa yang
telah ia bangun dalam waktu yang lama. Ia tak tahu.
tepat di depan kantor ayahnya. Tapi, yang ia lihat, bukan security-security
yang biasa menyambut kedatangannya. Melainkan kaca-kaca pecah di sana-sini.
Tembok-tembok berbercakkan darah. Ia tak tahu darah siapa. Dan yang ada di
pikirannya adalah di mana papanya. Penolongnya. Ia mencoba masuk. Tentu setelah
ia membayar taksi yang sudah ia repotkan. Hatinya bergetar hebat. Setiap
ruangan yang ia masuki adalah ruang-ruang berantakan, hancur tak berbentuk
lagi. Komputer-komputer telah raib entah kemana. Darah-darah hadir menghiasi
ruangan itu. Hingga ia sampai pada ruangan papanya. Kosong. Photo ia dan
papanya masih ada di atas meja. Tapi, ada yang salah, gambar kepala Rachel
dilingkari dengan entah apa yang berwarna merah. Spidolkah? Atau darahkah? Ia
tak tahu, harus bagaimana lagi. Ia tak tahu harus kemana. Bagaimana ia
meneruskan hidup. Bagaimana ia melanjutkan kuliahnya, merajut asa-asa yang
telah ia bangun dalam waktu yang lama. Ia tak tahu.
Matanya menyorot
pada seluruh ruangan. Ia temukan sesuatu. Semoga bisa menjadi petunjuk. Itu
adalah corat-coret ayahnya. Yang tertulis adalah, “hari yang kelabu. Banyak
tamu tak diundang datang. Bukan untuk berdiplomasi, apalagi bekerja sama.
Mereka membawa batu, golok dan senjata-senjata tajam. Bahkan senjata api.
Mereka menyerang tanpa ampun pada setiap penjuru. Mereka tak peduli. Aku ingin
menyerang, memperjuangkan hakku. Tapi aku terlalu takut, aku hanya mampu
melihat mereka dari tempatku sembunyi. Tak ada yang tahu dimana aku. Yang aku
paling takutkan adalah putriku tercinta. Bagaimana jika ia tiba-tiba datang.
Bagaimana jika aku tak mampu melindunginya? Bagaimana jika ia menjadi korban.
Sudah tentu, bukan dia yang harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi.
Akulah yang harus bertanggung jawab. Dan aku sadar, akulah kini pecundangnya.
Untuk anakku dimanapun engkau berada papa minta maaf atas apa yang terjadi.
Perusahaan terkena fitnah tentang pembuangan limbah. Mereka kira perusahaan
kitalah yang membuangnya padahal itu dalah kesalahan besar. Tapi telinga mereka
sudah tak mampu mendengar. Mereka tuli. Dan salah satu yang membuat mereka tak
mau mendengar adalah karna papamu ini adalah seorang komunis. Anakku
berlindunglah segera. Maafkan aku atas apa yang terjadi.” Tulisan itu usai.
pada seluruh ruangan. Ia temukan sesuatu. Semoga bisa menjadi petunjuk. Itu
adalah corat-coret ayahnya. Yang tertulis adalah, “hari yang kelabu. Banyak
tamu tak diundang datang. Bukan untuk berdiplomasi, apalagi bekerja sama.
Mereka membawa batu, golok dan senjata-senjata tajam. Bahkan senjata api.
Mereka menyerang tanpa ampun pada setiap penjuru. Mereka tak peduli. Aku ingin
menyerang, memperjuangkan hakku. Tapi aku terlalu takut, aku hanya mampu
melihat mereka dari tempatku sembunyi. Tak ada yang tahu dimana aku. Yang aku
paling takutkan adalah putriku tercinta. Bagaimana jika ia tiba-tiba datang.
Bagaimana jika aku tak mampu melindunginya? Bagaimana jika ia menjadi korban.
Sudah tentu, bukan dia yang harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi.
Akulah yang harus bertanggung jawab. Dan aku sadar, akulah kini pecundangnya.
Untuk anakku dimanapun engkau berada papa minta maaf atas apa yang terjadi.
Perusahaan terkena fitnah tentang pembuangan limbah. Mereka kira perusahaan
kitalah yang membuangnya padahal itu dalah kesalahan besar. Tapi telinga mereka
sudah tak mampu mendengar. Mereka tuli. Dan salah satu yang membuat mereka tak
mau mendengar adalah karna papamu ini adalah seorang komunis. Anakku
berlindunglah segera. Maafkan aku atas apa yang terjadi.” Tulisan itu usai.
“ehem.. kita
kedatangan tamu besar!! Hahahaha!” ada suara. “si..siapa kalian? Kenapa ada di
sini?” suara Rachel bergetar. “kami? Sedang apa? Kenapa? Harusnya kau yang
berpikir! Siapa kau berani menguasai negara orang. Di tanah siapa kau sekarang?
Di mana kau berdiri sekarang? Apakah kau asli orang sini? Kau harus tahu! Kau
harus dimusnahkan! Hahahaha!” suara itu terus mendekat. Rachel terus mengambil
langkah mundur. Hingga ia terbentur tembok. Tak ada lagi jalan untuk keluar. Ia
telah terkepung. “oh.. tidak! Dalam nadiku masih mengalir darah Indonesia. Kau
salah besar! Kalian begitu tak peduli, kalian tak mau mendengar. Hati kalian
mati!” rachel menjawab. Masih bergetar. “yang mati hatinya siapa?? Kami masih
mengenal tuhan. Kau? Apa kau percaya adanya tuhan? Bah! Kau tak ada bedanya
dengan binatang jika begitu, tak mampu berpikir!” ada suara yang lain. Ada
banyak orang.
kedatangan tamu besar!! Hahahaha!” ada suara. “si..siapa kalian? Kenapa ada di
sini?” suara Rachel bergetar. “kami? Sedang apa? Kenapa? Harusnya kau yang
berpikir! Siapa kau berani menguasai negara orang. Di tanah siapa kau sekarang?
Di mana kau berdiri sekarang? Apakah kau asli orang sini? Kau harus tahu! Kau
harus dimusnahkan! Hahahaha!” suara itu terus mendekat. Rachel terus mengambil
langkah mundur. Hingga ia terbentur tembok. Tak ada lagi jalan untuk keluar. Ia
telah terkepung. “oh.. tidak! Dalam nadiku masih mengalir darah Indonesia. Kau
salah besar! Kalian begitu tak peduli, kalian tak mau mendengar. Hati kalian
mati!” rachel menjawab. Masih bergetar. “yang mati hatinya siapa?? Kami masih
mengenal tuhan. Kau? Apa kau percaya adanya tuhan? Bah! Kau tak ada bedanya
dengan binatang jika begitu, tak mampu berpikir!” ada suara yang lain. Ada
banyak orang.
Rachel sudah tak
mampu berbicara, terkunci. Lampu menyala redup. Mereka mamunculkan diri.
Laki-laki semuanya. Apa yang akan mereka lakukan? Tanya Rachel dalam
hati. “wah! Ternyata ia begitu menawan. Kita apakan dia?” suara itu terus
mendekat. Pintu tertutup. Lampu padam. Rachel jatuh. Ia tak mampu berbuat apapun. Ia
telah berteriak sekuat mungkin. Tak ada yang mendengar. Hanya langit yang ikut
menemaninya menangis. Malam yang hancur. Rachel hancur.
mampu berbicara, terkunci. Lampu menyala redup. Mereka mamunculkan diri.
Laki-laki semuanya. Apa yang akan mereka lakukan? Tanya Rachel dalam
hati. “wah! Ternyata ia begitu menawan. Kita apakan dia?” suara itu terus
mendekat. Pintu tertutup. Lampu padam. Rachel jatuh. Ia tak mampu berbuat apapun. Ia
telah berteriak sekuat mungkin. Tak ada yang mendengar. Hanya langit yang ikut
menemaninya menangis. Malam yang hancur. Rachel hancur.
***
Wanita itu
berjalan gontai. Hidupnya, mimpinya musnah seketika. Hancur dalam waktu kurang
dari 24 jam. Harinya berubah menjadi tangis. Tak ada lagi yang patut ia
banggakan. Fakultas kedokteran hanya tinggal cerita-cerita hebat di masa
lalunya. Ia tersenyum getir. Betapa pahit hidup yang ia jalani. Saat itu juga
ia merasa sebagai orang paling merana hidupnya. Ia kembali menangis.
berjalan gontai. Hidupnya, mimpinya musnah seketika. Hancur dalam waktu kurang
dari 24 jam. Harinya berubah menjadi tangis. Tak ada lagi yang patut ia
banggakan. Fakultas kedokteran hanya tinggal cerita-cerita hebat di masa
lalunya. Ia tersenyum getir. Betapa pahit hidup yang ia jalani. Saat itu juga
ia merasa sebagai orang paling merana hidupnya. Ia kembali menangis.
Hidupnya kini
tinggal olok-olok. Setiap ia melewati perumahan atau perkampungan, olok-oloklah
yang ia dapatkan. Ia ingat betul bagaimana ia dulu sering mengolok orang gila. Rupanya
begini sakitnya, ia kembali tersenyum getir. Menangis lagi.
tinggal olok-olok. Setiap ia melewati perumahan atau perkampungan, olok-oloklah
yang ia dapatkan. Ia ingat betul bagaimana ia dulu sering mengolok orang gila. Rupanya
begini sakitnya, ia kembali tersenyum getir. Menangis lagi.
Hari-harinya
selalu ia tangisi. Ia menyalahkan nasib. Setiap pagi, ia selalu
berteriak-teriak, menuntut keadilan atas hidupnya. Jika malam datang, ia akan
berlari mencari tempat yang terang. Lalu menganis lagi, bahkan tanpa air mata.
Jika ia lapar ia akan mencoba mencari apa saja, yang penting mampu ia kunyah.
Ia tak tahu harus kemana ia berlabuh semua baginya tinggallah hal-hal yang tak
mungkin lagi ia dapatkan. Ia lelah. Dan kini ia tengah menangis.
selalu ia tangisi. Ia menyalahkan nasib. Setiap pagi, ia selalu
berteriak-teriak, menuntut keadilan atas hidupnya. Jika malam datang, ia akan
berlari mencari tempat yang terang. Lalu menganis lagi, bahkan tanpa air mata.
Jika ia lapar ia akan mencoba mencari apa saja, yang penting mampu ia kunyah.
Ia tak tahu harus kemana ia berlabuh semua baginya tinggallah hal-hal yang tak
mungkin lagi ia dapatkan. Ia lelah. Dan kini ia tengah menangis.
Hujan turun. Ia
berlari-lari girang melihat air. Lalu bermain-main dengan hujan. Lalu kembali
menangis. Hujan diturunkan untuk menemaniku menangis, bukan untuk memberi
tanaman kalian nutrisi lebih, ia berkata seperti itu pada setiap petani
yang lewat di hadapannya.
berlari-lari girang melihat air. Lalu bermain-main dengan hujan. Lalu kembali
menangis. Hujan diturunkan untuk menemaniku menangis, bukan untuk memberi
tanaman kalian nutrisi lebih, ia berkata seperti itu pada setiap petani
yang lewat di hadapannya.
Malam menjelang.
Ia buru-buru mencari tempat yang terang. Ia memilih sebuah teras rumah. Ia
menggigil. Demam menggelayuti tubuhnya bersama hatinya yang hancur. Ia
terlelap.
Ia buru-buru mencari tempat yang terang. Ia memilih sebuah teras rumah. Ia
menggigil. Demam menggelayuti tubuhnya bersama hatinya yang hancur. Ia
terlelap.
***
“Rachel Putri
Tirtayasa. Itu namaya. Cantik jelita dirinya. Cerdas otak, lembut hatinya. Tapi
kali ini ia sedang terpukul sangat dalam. Ia menderita depresi akut. Ia banyak
mengalami kepahitan dalam hidupnya.” Jawab sang Dokter. Ada wanita berjilbab di
sebelahnya. Cantik. Ia tersenyum lembut pada Rachel. Tapi yang ditatap malah
membelas dengan tatapan ngeri. Apa dia jahat? Ia berfikir dalam hati.
Sang dokter seakan mengerti. “ini Fatimah, Rachel. Dia yang menolong kamu. Kamu
demam. Dia juga tidak jahat.” Dokter menjelaskan.
Tirtayasa. Itu namaya. Cantik jelita dirinya. Cerdas otak, lembut hatinya. Tapi
kali ini ia sedang terpukul sangat dalam. Ia menderita depresi akut. Ia banyak
mengalami kepahitan dalam hidupnya.” Jawab sang Dokter. Ada wanita berjilbab di
sebelahnya. Cantik. Ia tersenyum lembut pada Rachel. Tapi yang ditatap malah
membelas dengan tatapan ngeri. Apa dia jahat? Ia berfikir dalam hati.
Sang dokter seakan mengerti. “ini Fatimah, Rachel. Dia yang menolong kamu. Kamu
demam. Dia juga tidak jahat.” Dokter menjelaskan.
Rachel selalu
menuruti apa yang Fatimah katakan. Ia seakan memiliki kekuatan baru. Hingga
suatu saat, ada yang mendatangi rumah Fatimah. Dia berkata kasar pada Fatimah,
“heh! Sejak kapan kamu merawat orang gila tak bertuhan itu?.” Fatimah menjawab,”dia
tidak gila dan dia bertuhan, dia masih dalam masa penyembuhan dan pencarian
jati diri. Pergi sana!” jawab Fatimah. Dan yang diusir pun pergi.
menuruti apa yang Fatimah katakan. Ia seakan memiliki kekuatan baru. Hingga
suatu saat, ada yang mendatangi rumah Fatimah. Dia berkata kasar pada Fatimah,
“heh! Sejak kapan kamu merawat orang gila tak bertuhan itu?.” Fatimah menjawab,”dia
tidak gila dan dia bertuhan, dia masih dalam masa penyembuhan dan pencarian
jati diri. Pergi sana!” jawab Fatimah. Dan yang diusir pun pergi.
Rachel menangis
di kamarnya. “fatimah, apakah aku gila?” tanya Rachel. “kamu tidak gila Rachel.
Kamu akan sembuh. Percaya padaku.” Jawab Fatimah. “fatimah, aku boleh
bertanya?” lanjut Rachel, “tentu…” jawab Fatimah. “yang kau kenakan di kepala
itu apa?, fungsinya apa?” tanya Rachel. “oo.. ini jilbab. Fungsinya untuk
melindungi aurat. Aurat wanita itu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan. Semua muslimah diwajibkan untuk berjilbab. Itu akan menjaga diri
mereka.” Jawab Fatimah. “lalu.. apakah aku seorang muslimah?” tanya Rachel, kali ini airmatanya jatuh lagi.
“emm.. kau harus berislam dulu. Mau aku antar untuk berucap syahadat di
masjid?” tanya Fatimah. “boleh.. aku sudah sangat yakin dengan agama ini.”
Jawab Rachel lirih. Ia tersenyum.
di kamarnya. “fatimah, apakah aku gila?” tanya Rachel. “kamu tidak gila Rachel.
Kamu akan sembuh. Percaya padaku.” Jawab Fatimah. “fatimah, aku boleh
bertanya?” lanjut Rachel, “tentu…” jawab Fatimah. “yang kau kenakan di kepala
itu apa?, fungsinya apa?” tanya Rachel. “oo.. ini jilbab. Fungsinya untuk
melindungi aurat. Aurat wanita itu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan. Semua muslimah diwajibkan untuk berjilbab. Itu akan menjaga diri
mereka.” Jawab Fatimah. “lalu.. apakah aku seorang muslimah?” tanya Rachel, kali ini airmatanya jatuh lagi.
“emm.. kau harus berislam dulu. Mau aku antar untuk berucap syahadat di
masjid?” tanya Fatimah. “boleh.. aku sudah sangat yakin dengan agama ini.”
Jawab Rachel lirih. Ia tersenyum.
***
4 tahun berlalu.
Semua berjalan begitu indah setelah hari itu. Rachel Putri Tirtayasa yang baru
telah hadir. Kembali mewarnai dunia. Hijabnya terpakai indah. Tapi, kali ini
ada yang menyusup dalam hembus napasnya. Rindu. Ia rindu akan papanya. Ia tak
tahu dimana papanya.
Semua berjalan begitu indah setelah hari itu. Rachel Putri Tirtayasa yang baru
telah hadir. Kembali mewarnai dunia. Hijabnya terpakai indah. Tapi, kali ini
ada yang menyusup dalam hembus napasnya. Rindu. Ia rindu akan papanya. Ia tak
tahu dimana papanya.
Angin hangat
berhembus. Bersamaan itu datanglah seorang lelaki paruh baya. Dia mencari
seorang putrinya. Ia mendapat kabar bahwa putrinya masih hidup. Ia dapat
diterima oleh masyarakat. Ia seorang muslimah sejati sekarang. Lelaki paruh
baya itu mengetuk pintu lembut. Pintu dibukakan. Mata biru itu menatap lurus
mata yang berwarna sama dengan miliknya. Dihadapannya kini, putri tunggalnya,
berubah 180 derajat dari adanya dahulu.
berhembus. Bersamaan itu datanglah seorang lelaki paruh baya. Dia mencari
seorang putrinya. Ia mendapat kabar bahwa putrinya masih hidup. Ia dapat
diterima oleh masyarakat. Ia seorang muslimah sejati sekarang. Lelaki paruh
baya itu mengetuk pintu lembut. Pintu dibukakan. Mata biru itu menatap lurus
mata yang berwarna sama dengan miliknya. Dihadapannya kini, putri tunggalnya,
berubah 180 derajat dari adanya dahulu.
Lelaki itu maju
melangkah, memeluk sang putri. “adakah kau ingat dengan pecundang ini?” tanya
sang papa. “aku tak pernah lupa akan engkau, Pa.. aku selalu ingat dan kau
bukanlah seorang pecundang.”jawab Rachel. “tapi aku tak mampu menolongmu…” “itu
bukan salah Papa, itu adalah jalan kita. Akan ada masanya kita berada di atas
Pa, dan ada masanya bagi kita berada di bawah.” Jawab sang putri. Kembali ia
memeluk sang papa. Ia begitu merindukan sang papa.
melangkah, memeluk sang putri. “adakah kau ingat dengan pecundang ini?” tanya
sang papa. “aku tak pernah lupa akan engkau, Pa.. aku selalu ingat dan kau
bukanlah seorang pecundang.”jawab Rachel. “tapi aku tak mampu menolongmu…” “itu
bukan salah Papa, itu adalah jalan kita. Akan ada masanya kita berada di atas
Pa, dan ada masanya bagi kita berada di bawah.” Jawab sang putri. Kembali ia
memeluk sang papa. Ia begitu merindukan sang papa.
Siang itu
menjadi begitu indah. Rachel kembali bertemu sang papa. Sebuah kejutan, sang
papa pun telah menjadi seorang muslim. Kabar yang membahagiakan. Semua yang
pahit di masa lalu, menjadi sangat manis hari ini. Semua yang gelap dulu,
menjadi terang sekarang. Semua menjadi indah.
menjadi begitu indah. Rachel kembali bertemu sang papa. Sebuah kejutan, sang
papa pun telah menjadi seorang muslim. Kabar yang membahagiakan. Semua yang
pahit di masa lalu, menjadi sangat manis hari ini. Semua yang gelap dulu,
menjadi terang sekarang. Semua menjadi indah.
***
Hari-hari
menjadi lebih indah saat ini. Kebahagiaan demi kebahagiaan merajutkan diri, melebur
dalam kehidupan Rachel dan keluarganya. Perlu kau ketahui kawan, 2 pekan yang
lalu, bunda Rachel kembali pulang. Mereka kembali menjadi keluarga yang utuh.
Dan hari ini tahukah engkau, tapi sebelumnya kupastikan dulu, kau ingat bukan
dengan Ahmad Fauzan Fuadi? Ya, lelaki sholeh itu meminang Rachel hari ini.
Mereka akan segera menyempurnakan agama mereka. Apa kau turut bahagia kawan??
menjadi lebih indah saat ini. Kebahagiaan demi kebahagiaan merajutkan diri, melebur
dalam kehidupan Rachel dan keluarganya. Perlu kau ketahui kawan, 2 pekan yang
lalu, bunda Rachel kembali pulang. Mereka kembali menjadi keluarga yang utuh.
Dan hari ini tahukah engkau, tapi sebelumnya kupastikan dulu, kau ingat bukan
dengan Ahmad Fauzan Fuadi? Ya, lelaki sholeh itu meminang Rachel hari ini.
Mereka akan segera menyempurnakan agama mereka. Apa kau turut bahagia kawan??
Flashback : off
(2011)
(2011)
***
Hangat. Perlahan
ia rasakan airmatanya turun lagi. Membasahi pipinya. Sosok yang duduk di pojok
teras rumah itupun mengeringkan air matanya dengan ujung jilbabnya yang
menjulur. Tiba-tiba ia rasakan ada yang menepuk lembut kedua bahunya. Ia
tengokkan kepalanya ke kanan ada sesosok suaminya yang sangat ia sayangi.
Fauzan. Lalu ia tengokkan kepalanya ke sebelah kirinya, ia lihat ada sosok Papa
yang amat ia cintai. Dan tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang, Bundanya, yang amat ia rindui, ia cintai. Ada
juga Fatimah di sana. Memberi senyum terbaiknya.
ia rasakan airmatanya turun lagi. Membasahi pipinya. Sosok yang duduk di pojok
teras rumah itupun mengeringkan air matanya dengan ujung jilbabnya yang
menjulur. Tiba-tiba ia rasakan ada yang menepuk lembut kedua bahunya. Ia
tengokkan kepalanya ke kanan ada sesosok suaminya yang sangat ia sayangi.
Fauzan. Lalu ia tengokkan kepalanya ke sebelah kirinya, ia lihat ada sosok Papa
yang amat ia cintai. Dan tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang, Bundanya, yang amat ia rindui, ia cintai. Ada
juga Fatimah di sana. Memberi senyum terbaiknya.
Malam terasa
sangat sempurna. Rachel merasa ini nikmat yang sangat harus disyukuri.
Berkumpul dengan orang-orang yang ia cintai. Orang-orang yang sangat
membantunya untuk kembali bertemu bersama Allah.
sangat sempurna. Rachel merasa ini nikmat yang sangat harus disyukuri.
Berkumpul dengan orang-orang yang ia cintai. Orang-orang yang sangat
membantunya untuk kembali bertemu bersama Allah.
Langit terasa
bertambah terang. Rembulan sempurna menawan. Langit sempurna elok bak taman
berlian. Dunia terasa begitu lapang. Angin hangat nan lembut hilir mudik
mengisi ketentraman hati. Ooh lihatlah di pojok dunia ini dengan berlatar
langit, ada keluarga yang berkumpul bersama, meneteskan airmata bahagia di
bawah Ridho Rabbnya.
bertambah terang. Rembulan sempurna menawan. Langit sempurna elok bak taman
berlian. Dunia terasa begitu lapang. Angin hangat nan lembut hilir mudik
mengisi ketentraman hati. Ooh lihatlah di pojok dunia ini dengan berlatar
langit, ada keluarga yang berkumpul bersama, meneteskan airmata bahagia di
bawah Ridho Rabbnya.
Maka, nikmat
Tuhanmu yang manakah, yang engkau dustakan?
Tuhanmu yang manakah, yang engkau dustakan?
_the_end_