SIRAH NABAWIYAH
Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
PERIODE
MEKKAH
Kehidupan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau dimuliakan oleh Allah
dengan nubuwwah dan risalah terbagi menjadi dua periode yang masing-masing
memiliki keistimewaan tersendiri secara total, yaitu:
PERIODE
MEKKAH : berlangsung selama lebih kurang 13 tahun
PERIODE
MADINAH : berlangsung selama 10 tahun penuh
Dan
masing-masing periode mengalami beberapa tahapan sedangkan masing-masing
tahapan memiliki karakteristik tersendiri yang menonjolkannya dari yang
lainnya. Hal itu akan tampak jelas setelah kita melakukan penelitian secara
seksama dan detail terhadap kondisi yang dilalui oleh dakwah dalam kedua
periode tersebut.
Periode
Mekkah dapat dibagi menjadi tiga tahapan:
Tahapan
Dakwah sirriyyah (sembunyi-sembunyi); berlangsung selama tiga tahun.
Tahapan
Dakwah secara terang-terangan kepada penduduk Mekkah; dari permulaan tahun
ke-empat kenabian hingga hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ke
Madinah.
Tahapan
Dakwah di luar Mekkah dan penyebarannya di kalangan penduduknya; dari penghujung
tahun ke-sepuluh kenabian-dimana juga mencakup Periode Madinah- dan berlangsung
hingga akhir hayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun
mengenai tahapan-tahapan Periode Madinah maka rincian pembahasannya akan
diketengahkan pada tempatnya nanti.
DIBAWAH
NAUNGAN KENABIAN DAN KERASULAN Di Gua Hira’
Setelah
melalui perenungan yang lama dan telah terjadi jurang pemisah antara pemikiran
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaumnya, beliau nampak lebih menggandrungi
untuk mengasingkan diri. Hal ini terjadi tatkala beliau menginjak usia 40
tahun; beliau membawa roti dari gandum dan bekal air ke gua Hira’ yang terletak
di jabal an-Nur , yaitu sejauh hampir 2 mil dari Mekkah. Gua ini merupakan gua
yang indah, panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran zira’
al-Hadid (hasta ukuran besi). Di dalam gua tersebut, beliau berpuasa bulan
Ramadhan, memberi makan orang-orang miskin yang mengunjunginya. Beliau
menghabiskan waktunya dalam beribadah dan berfikir mengenai pemandangan alam di
sekitarnya dan adanya kekuasaan dalam menciptakan dibalik itu. Kaumnya yang
masih menganut ‘aqidah yang amburadul dan cara pandang yang rapuh membuatnya
tidak tenang akan tetapi beliau tidak memiliki jalan yang jelas, manhaj yang
terprogram serta cara yang terarah yang membuatnya tenang dan setuju dengannya.
Pilihan
mengasingkan diri (‘uzlah) yang diambil oleh beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam ini merupakan bagian dari tadbir (aturan) Allah terhadapnya. Juga,
agar terputusnya hubungannya dengan kesibukan-kesibukan di muka bumi, gemerlap
hidup dan nestapa-nestapa kecil yang mengusik kehidupan manusia menjadi noktah
perubahan dalam mempersiapkan diri menghadapi urusan besar yang sudah
menantinya sehingga siap mengemban amanah kubro, merubah wajah bumi dan
meluruskan garis sejarah. ‘Uzlah yang sudah ditadbir oleh Allah ini terjadi
tiga tahun sebelum beliau ditaklif dengan risalah. Beliau mengambil jalan ‘uzlah
ini selama sebulan dengan semangat wujud yang bebas dan mentadabburi kehidupan
ghaib yang tersembunyi dibalik wujud tersebut hingga tiba waktunya untuk
berinteraksi dengan kehidupan ghaib ini saat Allah memperkenankannya.
Jibril
‘alaihissalam turun membawa wahyu
Tatkala
usia beliau mencapai genap empat puluh tahun- yaitu usia yang melambangkan
kematangan, dan ada riwayat yang menyatakan bahwa diusia inilah para Rasul
diutus – tanda-tanda nubuwwah (kenabian) sudah tampak dan mengemuka,
diantaranya; adanya sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau,
terjadinya ar-Ru’ya –ash-Shadiqah- (mimpi yang benar) yang datang berupa fajar
subuh yang menyingsing. Hal ini berlangsung hingga enam bulan –masa kenabian
berlangsung selama dua puluh tiga tahun- dan ar-Ru’ya ash-Shadiqah ini
merupakan bagian dari empat puluh enam tanda kenabian. Ketika memasuki tahun
ketiga dari pengasingan dirinya (‘uzlah) di gua Hira’, tepatnya di bulan
Ramadhan, Allah menghendaki rahmatNya dilimpahkan kepada penduduk bumi dengan
memberikan kemuliaan kepada beliau, berupa pengangkatan sebagai Nabi dan
menurunkan Jibril kepadanya dengan membawa beberapa ayat al-Qur’an.
Setelah
melalui pengamatan dan perenungan terhadap beberapa bukti-bukti dan tanda-tanda
akurat, kami dapat menentukan persisnya pengangkatan tersebut, yaitu hari
Senin,
tanggal
21 malam bulan Ramadhan dan bertepatan dengan tanggal 10 Agustus tahun 610 M.
Tepatnya usia beliau saat itu empat puluh tahun enam bulan dua belas hari
menurut penanggalan qamariyyah (berdasarkan peredaran bulan; hijriyyah) dan
sekitar tiga puluh sembilan tahun tiga bulan dua puluh hari; ini menurut
penanggalan syamsiyyah (berdasarkan peredaran matahari; masehi).
Mari
kita dengar sendiri ‘Aisyah ash-Shiddiqah radhiallâhu ‘anha menuturkan kisahnya
kepada kita mengenai peristiwa yang merupakan noktah permulaan nubuwwah
tersebut dan yang mulai membuka tabir-tabir gelapnya kekufuran dan kesesatan
sehingga dapat mengubah alur kehidupan dan meluruskan garis sejarah; ‘Aisyah
radhiallâhu ‘anha berkata: “Wahyu yang mula pertama dialami oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah berupa ar-Ru’ya ash-Shalihah
(mimpi yang benar) dalam tidur dan ar-Ru’ya itu hanya berbentuk fajar shubuh
yang menyingsing, kemudian beliau lebih menyenangi penyendirian dan
melakukannya di gua Hira’; beribadah di dalamnya beberapa malam sebelum dia
kembali ke rumah keluarganya. Dalam melakukan itu, beliau mengambil bekal
kemudian kembali ke Khadijah mengambil perbekalan yang sama hingga datang
kebenaran kepadanya; yaitu saat beliau berada di gua Hira’ tersebut, seorang
malaikat datang menghampiri sembari berkata: “bacalah!”, lalu aku
menjawab (ini adalah jawaban Rasulullah sendiri yang sepertinya oleh pengarang
buku ini dinukil langsung dari naskah asli haditsnya-red): “aku tidak bisa
membaca!”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur lagi:
“kemudian dia memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga,
lalu setelah itu melepaskanku sembari berkata: “bacalah!”. Aku tetap
menjawab: “aku tidak bisa membaca!”. Lalu dia untuk kedua kalinya,
memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga kemudian melepaskanku
seraya berkata lagi: “bacalah!”. Lalu aku tetap menjawab: “aku
tidak bisa membaca!”. Kemudian dia melakukan hal yang sama untuk ketiga
kalinya, sembari berkata: “bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Rabb-mu lah Yang Paling Pemurah”. (Q.S. al-‘Alaq: 1-3). Rasulullah pulang
dengan merekam bacaan tersebut dalam kondisi hati yang bergetar, dan menemui
Khadijah binti Khuwailid sembari berucap: “selimuti aku! Selimuti
aku!”. Beliau pun diselimuti hingga rasa ketakutannya hilang. Beliau
bertanya kepada Khadijah: “apa yang terjadi terhadapku ini?”. Lantas
beliau menceritakan pengalamannya, dan berkata: “aku amat khawatir
terhadap diriku!”. Khadijah berkata: “sekali-kali tidak akan! Demi
Allah! Dia Ta’ala tidak akan menghinakanmu selamanya! Sungguh engkau adalah
penyambung tali rahim, pemikul beban orang lain yang mendapatkan kesusahan,
pemberi orang yang papa, penjamu tamu serta penolong setiap upaya menegakkan
kebenaran”. Kemudian Khadijah berangkat bersama beliau untuk menemui
Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, anak paman Khadijah (sepupunya).
Dia (anak pamannya tersebut) adalah seorang yang menganut agama Nashrani pada
masa Jahiliyyah, dia bisa menulis dengan tulisan ‘Ibrani dan sempat menulis
dari injil beberapa tulisan yang mampu ia tulis –sebanyak apa yang dikehendaki
oleh Allah- dengan tulisan ‘Ibrani. Dia juga, seorang yang sudah tua renta
dan
buta; ketika itu Khadijah berkata kepadanya: “wahai anak pamanku!
Dengarkanlah (cerita) dari anak saudaramu!”. Waraqah berkata: “wahai
anak laki-laki saudara (laki-laki)-ku! Apa yang engkau lihat?”. Lalu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membeberkan pengalaman yang sudah
dilihatnya. Waraqah berkata kepadanya: “sesungguhnya inilah sebagaimana
ajaran yang diturunkan kepada Nabi Musa! Andai saja aku masih bugar dan muda
ketika itu nanti! Andai saja aku masih hidup ketika engkau diusir oleh
kaummu!”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:
“benarkah mereka akan mengusirku?”. Dia menjawab: “ya! Tidak
seorangpun yang membawa seperti yang engkau bawa melainkan akan dimusuhi, dan
jika aku masih hidup pada saat itu niscaya aku akan membantumu dengan sekuat
tenaga”. Kemudian tak berapa lama dari itu Waraqah meninggal dunia dan
wahyu pun terputus (mengalami masa stagnan).
Masa
Stagnan Turunnya Wahyu
Mengenai
hal ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Ibnu Abbas yang intinya
menyatakan bahwa masa stagnan itu berlangsung selama beberapa hari ; pendapat
inilah yang rajih/kuat bahkan setelah melalui penelitian dari segala aspeknya
secara terfokus harus menjadi acuan. Adapun riwayat yang berkembang bahwa hal
itu berlangsung selama tiga tahun atau dua tahun setengah tidaklah shahih sama
sekali, namun disini bukan pada tempatnya untuk membantah hal itu secara
detail.
Pada
masa stagnan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dirundung
kesedihan yang mendalam yang diselimuti oleh rasa kebingungan dan panik.
Dalam
kitab “at-Ta’bir” , Imam Bukhari meriwayatkan naskah sebagai
berikut:” menurut berita yang sampai kepada kami, wahyupun mengalami
stagnan hingga membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedih dan berkali-kali
berlarian agar dia dapat terjerembab ke ujung jurang-jurang gunung, namun
setiap beliau mencapai puncak gunung untuk mencampakkan dirinya, malaikat
Jibril menampakkan wujudnya sembari berkata: “wahai Muhammad! Sesungguhnya
engkau sebenar-benar utusan Allah!”. Spirit ini dapat menenangkan dan
memantapkan kembali jiwa beliau. Lalu pulanglah beliau ke rumah, namun manakala
masa stagnan itu masih terus berlanjut beliaupun mengulangi tindakan
sebagaimana sebelumnya; dan ketika dia mencapai puncak gunung, malaikat Jibril
menampakkan wujudnya dan berkata kepadanya seperti sebelumnya (memberi spirit
kepada beliau-red)”.
Jibril
‘alaihissalam Turun Kembali Membawa Wahyu
Ibnu
Hajar berkata: “Masa stagnan itu sungguh telah menghilangkan ketakutan
yang telah dialami oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan membuatnya
bersemangat untuk kembali mengalaminya. Dan ketika hal ini benar terjadi dan
beliau mulai menanti-nanti datangnya wahyu, maka datanglah malaikat Jibril
‘alaihissalam untuk kedua kalinya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin
‘Abdullah bahwasanya dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menceritakan tentang masa stagnan itu, beliau bercerita: “Ketika aku
tengah berjalan-jalan, tiba-tiba aku mendengar suara yang berasal dari langit,
lalu aku mendongakkan pandangan ke arah langit, ternyata malaikat yang dulu
mendatangiku ketika di gua Hira’ duduk diatas kursi antara langit dan bumi.
Melihat hal itu aku terkejut hingga aku tersungkur ke bumi. Kemudian aku
mendatangi keluargaku sembari berkata: ‘selimutilah aku! Selimutilah aku!’.
Lantas mereka menyelimutiku, baru kemudian Allah menurunkah surat al-Muddatstsir;yaitu
dari firmanNya; yaa ayyuhal muddatstsir….hingga firmanNya: …fahjur’. (Q.S.
al-Muddatstsir: 1-5). Setelah itu wahyu
tetap
terjaga dan datang secara teratur”. Dalam hadits yang shahih: ” Aku
tinggal di dekat gua Hira’ selama sebulan; tatkala aku sudah selesai melakukan
itu, maka aku turun gunung. Dan ketika aku sampai ke sebuah lembah dan aku
dipanggil oleh seseorang…”. Kemudian (teks hadits selanjutnya-red) beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan (cerita) sebagaimana yang telah dikemukakan
diatas yang intinya; bahwa ayat tersebut turun setelah sempurnanya beliau
menyertai bulan Ramadhan dan dengan begitu, artinya masa stagnan antara dua
wahyu tersebut berlangsung selama sepuluh hari sebab beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak sempat lagi menyertai Ramadhan berikutnya setelah turunnya wahyu
pertama.
Ayat-ayat
tersebut merupakan permulaan dari masa kerasulan (risalah) beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam alias datang setelah masa kenabian (nubuwwah) yang berjarak
selama masa stagnan turunnya wahyu. Ayat-ayat tersebut mengandung dua jenis
taklif (pembebanan syara’) beserta penjelasan konsekuensinya.
Jenis
pertama adalah mentaklif beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penyampaian
(al-Balagh) dan peringatan ( at- Tahzir) saja. Hal ini sebagaimana firman Allah
Ta’ala: “bangunlah! Lalu berilah peringatan” (Surat
al-Muddatstsir:2); makna ayat ini adalah agar beliau memperingatkan manusia
akan azab Allah atas mereka jika mereka tidak bertaubat dari dosa, kesesatan,
beribadah kepada selain Allah Yang Maha Tinggi serta berbuat syirik kepadaNya
dalam zat, sifat-sifat, hak-hak dan perbuatan-perbuatan.
Jenis
kedua adalah mentaklif beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penerapan
perintah-perintah Allah Ta’ala terhadap zatNya dan komitmen terhadapnya dalam
jiwa beliau agar mendapatkan keridhaan Allah dan menjadi suri teladan yang baik
bagi orang yang beriman kepada Allah. Hal ini tercermin pada ayat-ayat
berikutnya. FirmanNya Ta’ala: “dan Rabb-mu
agungkanlah!”(al-Muddatstsir: 3); maknanya adalah khususkanlah Dia Ta’ala
dengan pengagungan dan janganlah menyekutukanNya dengan seseorangpun. Dan
firmanNya: “dan pakaianmu bersihkanlah!” (al-Muddatstsir:4); makna
lahiriyahnya adalah menyucikan/membersihkan pakaian dan jasad sebab tidaklah
layak bagi orang yang mengagungkan Allah dan menghadapNya dalam kondisi
dilumuri oleh najis dan kotor. Jika saja kesucian/kebersihan ini dituntut untuk
dilakukan maka kesucian/kebersihan diri dari virus-virus syirik, pekerjaan dan
akhlak yang hina tentunya lebih utama untuk dituntut. Dan firmanNya: “dan
perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah!” (al-Muddatstsir:5) ;
maknanya adalah jauhkanlah dari sebab-sebab turunnya kemurkaan Allah dan
azabNya, dan hal ini direalisasikan melalui komitmen untuk ta’at kepadaNya dan
meninggalkan maksiat. Sedangkan firmanNya: “dan janganlah kamu memberi
(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak!” (al-Muddatstsir:
6); yakni janganlah kamu berbuat baik dengan menginginkan upah dari manusia
atasnya atau balasan yang lebih utama di dunia ini.
Adapun
makna ayat terakhir (yang diturunkan saat itu kepada beliau-red); didalamnya
terdapat peringatan akan adanya gangguan dari kaumnya ketika beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam berbeda agama dengan mereka, mengajak mereka kepada Allah
semata dan memperingatkan mereka akan azab dan siksaanNya; yaitu dalam firmanNya:
“dan untuk memenuhi (perintah Rabb-mu) bersabarlah!” (al-Muddatstsir:
7).
Permulaan
ayat-ayat tersebut (surat al-Muddatstsir) berbicara tentang panggilan langit
nan agung- terekam dalam suara Yang Maha Besar dan Maha Tinggi- yang
mengajurkan agar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan urusan yang mulia
ini dan memerintahkannya agar mengenyahkan tidur, selimut dan berhangat-hangat
guna menyongsong panggilan jihad, berjuang dan menempuh jalan penuh ranjau; ini
tergambar dalam firmanNya: “Hai orang yang berselimut! bangunlah! Lalu
berilah peringatan” (Surat al-Muddatstsir:2) . Seakan-akan dikatakan
(kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam ): sesungguhnya orang yang hanya
hidup untuk kepentingan dirinya saja, bisa saja hidup tenang dan nyaman sedangkan
engkau yang memikul beban yang besar ini; apa gunanya tidur bagimu? Apa gunanya
istirahat/refreshing bagimu? Apa gunanya permadani yang hangat bagimu? Apa
gunanya hidup yang tenang bagimu? Apa gunanya kesenangan yang membuaikan
bagimu? Bangunlah untuk melakukan urusan maha penting yang menunggumu dan beban
berat yang disediakan untukmu! Bangunlah untuk berjuang, bergiat-giat, bekerja
keras dan berletih-letih! Bangunlah! Karena waktu tidur dan istirahat sudah
berlalu, dan tidak akan kembali lagi sejak hari ini; yang ada hanyalah mata
yang meronda secara kontinyu, jihad yang panjang dan melelahkan. Bangunlah!
Persiapkan diri menyambut urusan ini dan bersiagalah!.
Sungguh
ini merupakan ucapan agung dan kharismatik yang (seakan) melucuti beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam dari kehangatan permadani di suatu rumah yang
nyaman dan pelukan yang suam untuk kemudian melemparkannya keluar menuju
samudera luas yang diselimuti oleh deru ombak dan hujan yang mengguyur, (dan
samudera) dimana terjadi tarik menarik yang membuat posisinya di hati manusia
dan realitas hidup sama saja.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bangun dan tetap bangun setelah perintah itu
selama
lebih dari dua puluh tahun; tidak pernah beristirahat dan tidak pula hanya
hidup untuk kepentingan dirinya dan keluarganya. Bangun dan tetap bangun diatas
pondasi dakwah kepada Allah, mengembankan di pundaknya beban yang amat berat
namun beliau tidak menganggapnya berat; beban amanah kubro di muka bumi ini, beban
manusia secara keseluruhan, beban ‘aqidah secara keseluruhan, beban perjuangan
dan jihad di medan-medan yang berbeda. Beliau hidup menghadapi pertempuran yang
kontinyu selama lebih dari dua puluh tahun. Selama tenggang waktu ini, tidak
satupun hal yang dapat membuatnya lengah, yaitu sejak beliau mendengar
panggilan langit nan agung yang menyerahkan taklif yang begitu dahsyat untuk
diembannya… semoga Allah membalas jasa beliau terhadap manusia secara
keseluruhan dengan sebaik-baik imbalan.
Sekilas
ulasan tentang urutan kronologi turunnya wahyu
Sebelum
beranjak ke penjelasan detail mengenai kehidupan di bawah naungan risalah dan
nubuwwah, kami melihat perlu kita mengetahui urutan kronologi turunnya wahyu
yang merupakan sumber risalah dan tinta dakwah. Ibnu al-Qayyim berkata, ketika
menyinggung urutan kronologi turunnya wahyu tersebut:
Pertama,
berupa ar-Ru’ya ash-Shaadiqah (mimpi yang benar); ini merupakan permulaan
turunnya wahyu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kedua,
berupa sesuatu yang ditimbulkan oleh malaikat terhadap rau’ (hati yang
ketakutan, akal) dan hatinya tanpa dapat melihatnya; hal ini sebagaimana sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat
Jibril ‘alaihissalam) menghembuskan ke dalam hatiku (yang diliputi ketakutan)
bahwasanya jiwa tidak akan mati hingga disempurnakan rizki baginya. Oleh karena
itu, bertakwalah kalian kepada Allah, berindah-indahlah dalam meminta serta
janganlah keterlambatan rizki atas kalian mendorong kalian untuk memintanya dengan
cara melakukan perbuatan maksiat kepadaNya, karena sesungguhnya apa yang ada
disisi Allah tidak akan didapat kecuali dengan berbuat ta’at kepadaNya”.
Ketiga,
berupa malaikat yang berwujud seorang laki-laki; lantas dia mengajak beliau
berbicara hingga mengingat dengan jelas apa yang dikatakan kepadanya. Dalam
urutan ini, terkadang para shahabat melihat malaikat tersebut.
Keempat,
berupa bunyi gemerincing lonceng yang datang kepada beliau; peristiwa ini
merupakan pengalaman yang paling berat bagi beliau dimana malaikat memakai cara
ini hingga membuat keningnya mengerut bersimbah peluh. Ini terjadi di hari yang
amat dingin. Demikian pula, mengakibatkan onta beliau duduk bersimpuh ke bumi
bila beliau menungganginya. Dan pernah juga wahyu datang seperti kondisi
tersebut dan saat itu paha beliau ditaruh diatas paha Zaid bin Tsabit yang
seketika dirasakan olehnya (Zaid)
demikian
berat sehingga hampir saja remuk.
Kelima,
berupa malaikat dalam bentuk aslinya yang dilihat langsung oleh beliau, lalu
diwahyukan kepada beliau beberapa wahyu yang dikehendaki oleh Allah; peristiwa
seperti ini dialami oleh beliau sebanyak dua kali sebagaimana disebutkan oleh
Allah dalam surat an-Najm.
Keenam,
berupa wahyu yang diwahyukan kepada beliau; yaitu saat beliau berada diatas
lelangit pada malam mi’raj , diantaranya ketika diwajibkannya shalat dan
lainnya.
Ketujuh,
berupa Kalamullah kepada beliau (dariNya kepadanya) tanpa perantaraan malaikat
sebagaimana Allah berbicara kepada Musa bin ‘Imran; peristiwa seperti ini
terjadi dan diabadikan secara qath’i berdasarkan nash al-Qur’an. Sedangkan
terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi dalam hadits yang berbicara
tentang Isra’ .
Sebagian
para ulama menambah urutannya menjadi delapan, yaitu; Allah berbicara kepada
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam secara langsung tanpa hijab; ini merupakan
permasalahan yang diperdebatkan oleh ulama Salaf dan Khalaf. Demikian,
sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu al-Qayyim dengan sedikit diringkas dalam
penjelasan tentang urutan pertama dan kedelapan. Pendapat yang benar, bahwa
urutan terakhir ini (kedelapan) tidak tsabit (valid dan dipercaya keabsahan